Sabtu, 20 Maret 2010

Give Your Blood....

Sebelumnya gw sama sekali ga ada ada niatan buat donor darah. Bukan karena ga mau nolong sesama, tapi alesan yang sangat amat klise, takut liat darah plus jarum suntiknya. Sampai suatu saat gw pengen donor, dan segitu sedihnya karena tekanan darah gw ga bagus, jadi ga bisa donor. Padahal, gw udah ngumpulin segenap kekuatan buat donor. Sang dokter bilang, "TIDAK BISA!!!" Sepertinya saat itu gw kurang tidur atau kelewat cape.
Untungnya kesempatan datang lagi. 18 Maret kemaren, salah satu jurusan di kampus gw ngadain acara amal, donor danar. Dan gw dinyatakan SEHAT! Sebenernya gw kembali takut. Takut darah dan jarum suntik. Tapi, gw berusaha buang jauh-jauh rasa takut, demi kemanusiaan. Gw yakin di luar sana, banyak orang yang butuh darah. Jadi, ketika gw bisa membantu kenapa ga.
Ternyata, donor darah ga sehoror yang gw bayangin. (walaupun gw ditusuk ampe 2 kali) Ternyata enak dan ujung-ujungnya bikin nagih. Hahaha... insyaAllah, Rencananya 3 bulan mendatang gw mau lagi donor darah :)

Manfaatnya....
Nah pas gw browsing-browsing tentang manfaat donor darah, gw nemunin kalimat ini "Donor darah terutama baik bagi mereka yang memiliki kandungan besi dalam darah berlebihan karena besi yang berlebih cenderung akan menumpuk pada berbagai organ vital seperti jantung, liver, ginjal dan mengganggu fungsinya (hemokromatosis). Selain itu, beberapa penelitian medis, walaupun belum sempurna dijelaskan secara medis, mengemukakan bahwa donor darah rutin akan membantu kelancaran aliran darah (sistem kardiovaskular). Pengurangan kekentalan darah sehingga menjamin kelancaran suplai darah bagi tubuh tersebut ditengarai menyebabkan efek positif bagi jantung, sehingga pernah ada penelitian yang menyatakan bahwa donor darah rutin mampu membantu mengurangi angka kejadian serangan jantung pada pria."(Wikimu.com)
Pas tau manfaatnya kaya gitu gw makin semangat jadi pendonor!

Siapa aja sih yang bisa donor darah?
Yang pasti usia 17-60 tahun yang sedang dalam kondisi sehat. (Perempuan yang lagi kedatangan tamu ga boleh lho, kurang tdr juga ga boleh.)

Jadi, tunggu apa lagi? Kalo lo sehat dan mau nolong sesama. Kenapa ga sesegera mungkin. Di luar sana banyak yang membutuhkan tetes demi tetes darah kita. Go Go Go! Give ur blood!

Selasa, 16 Maret 2010

Bismar Siregar, Pendekar Hukum yang Murah Senyum



Tulisan ini saya dedikasikan untuk : OPUNG BISMAR SIREGAR

“Haram hukumnya mengadili Pak Harto!” tutur Bismar Siregar. Pernyataan kontroversial tersebut diucapkan dengan tegas, namun tanpa emosi oleh pria asal batak yang menjabat sebagai Hakim Agung periode 1984-1995. Siapa yang tak kenal sosok hakim yang terkenal “bersih” dan idealis ini.Kejujurannya yang luar biasa sangat patut mendapat acungan jempol.

Begitulah sosok Bismar Siregar. Ketegasan sikapnya terlihat betul dari kata demi kata yang ia lontarkan. Namun, ia tak seperti orang batak pada umumnya yang bila berbicara menggebu-gebu dan penuh emosional. Tutur katanya sangat lembut dan selalu diiringi senyum tulus. Tak sedikitpun tercermin rasa takut akan setiap tindakan, ketakutannya hanya pada Tuhan.

Hakim agung yang disegani pada masa pemerintahan Soeharto itu ternyata memiliki masa lalu yang begitu berwarna. Pria kelahiran Sumatera Utara 15 September 1928 ini, tidak dapat menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya di HIS, Sipirok. Bahkan, ia tak pernah merasakan indahnya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Maklumlah, dulu yang bisa bersekolah di HIS adalah anak-anak dengan orang tua yang pekerjaan dan gajinya tinggi. Saat itu, orang tua Bismar hanyalah guru Sekolah Rakyat (SR) dengan gaji kecil. Padahal, anak-anak yang menjadi tanggungan orang tua ada 13 orang. Keluarga besar Bismar juga menggantungkan hidup hanya dengan bertani. Maka, Bismar dan saudara-saudaranya kerap dipanggil pihak sekolah karena menunggak uang sekolah.

Jarak HIS dengan rumah Bismar di Mandailing yang sekitar 60 km memaksa Bismar kecil dan beberapa saudaranya indekos di daerah Kotanopan. Dalam usia yang masih sangat muda, yakni 7 tahun Bimar harus rela kehilangan saat-saat bersama keluarga. Jika ada kesempatan untuk pulang ke Mandailing, Bismar menemui orang tua dan bisa merasakan kehangatan keluarga. Bila Bismar harus kembali lagi ke Sipirok, sedihnya bukan main.
Tinggal terpisah dengan orang tua membentuk Bismar menjadi sosok yang mandiri dan tahu menempatkan diri. Orang tuanya tidak membayar tempat indekos dengan uang, tapi dengan sistem barter. Biasanya, orang tua Bismar membayarnya dengan beras karena kondisi keuangan keluarga tidak memungkinkan. Di tempat indekos itu, Bismar juga harus ikhlas jika kasur miliknya dipinjam untuk tidur tamu dari tuan rumah. Bismar dan saudara-saudaranya terpaksa tidur di atas tikar.

Untuk menambah uang jajan Bismar kecil melakukan along-along ke Sidempuan. Along-along adalah berdagang keliling dengan menggunakan sepeda atau pedati. Barang-barang yang dijual adalah ayam, telur ayam, atau telur bebek. Biasanya along-along ini dilakukan Bismar satu kali dalam seminggu. Uang hasil penjualannya cukup lumayan.
Bismar sebenarnya tidak lagi berharap untuk sekolah karena orang tuanya tak ada biaya. Namun, suratan nasib mengatakan lain. Ia mendapat bantuan kakaknya agar dapat mengenyam pendidikan di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). “Tak selamanya KKN itu salah,” tutur Bismar diiringi derai tawanya. Saat itu, sang kakak adalah direktur Sekolah Pejuang di Magelang dan berupaya memasukan Bismar ke sekolah yang dipimpinnya.

Tuhan selalu punya rencana yang manis untuk hamba-Nya. Jika saja saat itu Bismar jadi merantau ke Pontianak, Kalimantan Barat, mungkin dia tak akan pernah merasakan nikmatnya duduk di bangku SMA. Ketika itu, kapal Kalabahi yang sedianya akan mengangkut Bismar ke Pontianak mengalami keterlambatan. Sang kakak, KS. Serdang yang menjadi direktur Sekolah Pejuang itu menjemput dan membawa Bismar ke Magelang, serta memaksa Bismar masuk SMA tanpa ijazah. Jadilah Bismar dapat bersekolah.
Setelah bersekolah di Sekolah Pejuang, ia pindah sekolah ke SMA di Bandung, Jawa Barat. Di tahun 1952, berbekal ijazah SMA, ia mendaftar ke Fakultas Hukum Univesitas Indonesia (FHUI). Ia memilih jurusan hukum karena menyadari kelemahannya di bidang aljabar. Kalau saja kala itu dia mampu di bidang aljabar dia akan memilih jurusan Ekonomi.

Masa-masa awal perkuliahan juga bukan tanpa hambatan. Meskipun Bismar sekolah di HIS, HIS di kampung jauh berbeda dengan HIS di kota. HIS di kampung sama sekali tidak menggunakan Bahasa Belanda. Padahal, di UI yang digunakan adalah Bahasa Belanda. Namun, kendala itu pun bisa dilewati karena Bismar mau berusaha keras. Hanya butuh empat tahun untuk Bismar dalam menimba ilmu di FHUI.
Kala itu, semua lulusan FHUI mendapat gelar Meester in de Rechter (Mr.), begitu juga Bismar. Namun, ketika ada pergantian gelar menjadi Sarjana Hukum (S.H.), Bismar turut serta. Belakangan ia disadarkan oleh seorang kawan, bahwa dulu ia diwisuda dengan gelar Mr., mengapa harus diganti S.H.? gelar saat Bismar diwisuda adalah gelar yang sah. Maka, ia akan segera mengganti gelar di kartu namanya. “S.H. itu kepanjangan dari sakit hati. Saya tidak mau. Haha...” tutur Bismar sambil tertawa.

Antek-antek Soeharto Kah?

Bismar memang pribadi yang unik. Pernyataan yang dilontarkannya kerap kali menjadi pernyataan kontroversial. Misalnya saat, Bismar mengomentari soal kasus Soeharto yang bergulir, ia menyatakan keharaman untuk mengadili sosok orang yang pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia itu. Ia kembali mengenang perkenalannya dengan Soeharto.

Suatu saat ketika kasus Soeharto digulirkan ke pengadilan. Hari Kamis Soeharto menghadiri sidang. Lalu, pada hari Jumat Bismar tampil di televisi. Ia mengemukakan, mengadili Soeharto sama dengan melakukan penganiayaan dan itu haram hukumnya. Mengapa demikian? Bismar beralasan bahwa menurut agama yang diyakininya, Islam, diajarkan bahwa menyakiti orang yang sehat saja itu tidak boleh dan haram, apalagi pada orang yang sakit. Soeharto saat itu dalam kondisi sakit. Lagipula, Soeharto kala itu sudah menginjak usia 80 tahun. Usia menginjak 80 tahun itu adalah usia dimana Tuhan mengembalikan seorang manusia menjadi seperti anak-anak yang tanpa dosa.

Ia secara tegas mengatakan haram, ulama mengatakan tidak. Namun, ia tak peduli. Sebab, memang itulah yang diyakininya. Pernyataan itu tentu membuat Bismar menjadi bahan omongan. Masyarakat, pejabat, hingga orang di sekitar Bismar kerap membicarakannya. Bahkan, ada yang menyatakan Bismar adalah antek-antek Soeharto. Benarkah ia antek-antek Soeharto?

Bismar membantah bahwa ia adalah kaki tangan Soeharto. Ia juga membantah bahwa pernyataan demi pernyataannya yang terkesan “membela” Soeharto. Hanya masyarakat tak lekas percaya. Pada akhirnya, Bismar memilih diam dan membiarkan fitnah-fitnah mewarnai kehidupannya. Bismarpun tak bergeming. Ia diam, bukan berarti dia membenarkan. “Kebenaran yang hakiki hanya saya yang tahu, bersaksikan Tuhan,” tutur Bismar sambil melemparkan senyum tulusnya.

Perhatian yang tinggi terhadap pemerintahan negeri ini juga membuat Bismar kerap dinilai negatif oleh pejabat dan masyarakat. Padahal, niat Bismar baik, yakni ingin memberikan teguran pada pejabat-pejabat yang tengah berkuasa atas negeri ini. Bismar kerap mengirimkan surat yang disertakan buku karangannya, namun tak satupun yang membalas.

Hanya saat K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur menjadi presiden, Bismar mengirimkan surat yang berisi pemikirannya terhadap pemerintah. Surat itu pun berbalas. Bismar sesungguhnya bukan berharap surat-surat itu berbalas. Bismar hanya menginginkan surat itu dibaca kemudiaan direalisasikan untuk masyarakat.
Pendekar Hukum yang Sayang Keluarga

Karir Bismar di bidang hukum dimulai pertama kalinya sebagai seorang jaksa di Kejaksaan Negeri (kejari) Palembang tahun 1957. Tampaknya, tangan Tuhan selalu membelai Bismar. Di tahun yang sama, Bismar yang berusia 29 tahun meminang pujaan hatinya, Yunainen F. Damanik yang akrab disapa Anen. Pertemuan Bismar dan Anen terjadi di Tebing Tinggi, Medan. Saat itu, Anen yang lulusan Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) menjadi guru di sana. Pernikahan mereka yang kini berusia 52 tahun membuahkan 7 orang anak dan 14 cucu.

Secara jujur Bismar mengatakan bahwa menjadi seorang jaksa bertentangan dengan jiwanya. Sebab, di kejaksaan itu ada perintah dari atas ke bawah. Jaksa harus menurut dan menjalani perintah atasanya. Tidak sedikitpun ia boleh mengeluarkan gagasannya. Tekanan batin itu lah yang membuat Bismar mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari kejaksaan dan beralih menjadi hakim.

Saat karir Bismar semakin gemilang, tawaran menimba ilmu ke negeri orangpun singgah. Menurutnya, menolak tawaran berkuliah di negeri orang sama saja menolak karunia Tuhan. Maka, tahun 1973, berangkatlah ia ke University of Nevada di Reno, Amerika Serikat. Tiga bulan di sana, ia melanjutkan kuliah ke Universitas of Alabama di Toos Calosa dan University of Texas di Dallas, Amerika Serikat. Tahun 1990, ia kembali menimba ilmu menuju Belanda ke Ryks Universiteit, Leiden.

Lagi-lagi ia diberi kemudahan untuk menuntut ilmu ke beberapa universitas luar negeri. Saat itu, Delyuzar bekerja dengan posisi cukup baik di perusahaan minyak, Caltex. Perusahaan itu memiliki program Asia Foundation yang memberikan beasiswa bagi putera-puteri bangsa. Delyuzar adalah sahabat Bismar semasa kuliah.

Karir pertama Bismar sebagai seorang Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Pangkal Pinang kelas 3. Beberapa teman Bismar, mengusulkan Bismar menjadi ketua pengadilan di sana. Namun, ketua pengadilan yang lama belum mau pensiun dan minta perpanjangan setahun lagi. Teman-teman yang mencalonkan Bismarpun berniat melakukan demonstrasi, namun Bismar langsung menolak.

Bukan jabatan yang dia inginkan. Jabatan itu tak ada artinya bagi Bismar. Itu yang selalu ia tekankan dalam menjalani hidup. Rezeki menjadi ketua pengadilan sepertinya memang untuk Bismar. Ketua Pengadilan Pontianak kelas 1 meninggal dunia. Bismar diminta untuk menggantikan. “Saya tidak pernah mengemis jabatan. Bukan saya yang menginginkan ini. Tapi, masyarakat yang meminta,” ujar Bismar penuh keyakinan.
Menjadi seorang hakim agung pun bukan semata keinginan Bismar. Bahkan, ia sama sekali tidak tahu jika dicalonkan sebagai hakim agung di Mahkamah Agung RI. Dua kali Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mencalonkan Bismar, namun dua kali pula ditolak. Baginya, PPP bukanlah milik negara.

Lain halnya, saat Partai Golongan Karya (Golkar) mencalonkan dirinya lagi sebagai hakim agung, dia merasa tak bisa menolak amanah. Alasannya sederhana, Golkar milik negara ini dan dia diberi amanah. Tuhan akan murka jika seorang manusia menolak amanah. Itulah yang selalu diyakininya dan menjadi pula motivasi bagi Bismar untuk menerima jabatan tersebut dan bertanggung jawab dengan jabatan tersebut.

Sebenarnya, orang tua Bismarlah yang menginginkan putra ketujuhnya ini menjadi seorang hakim. Bismar tak pernah berambisi apalagi bercita-cita menempati jabatan sebagai hakim agung. Sebab, Bismar adalah orang yang tahu diri. Dia anak desa dengan pendidikan yang tidak lazim. Tapi, jika Tuhan berkendak, maka jadilah. Tuhan memang menginginkan seorang Bismar Siregar menjadi seorang pendekar hukum.

“Saya selalu sukuri semua yang saya alami karena ini adalah takdir Tuhan,” tutur Bismar yang disapa Opung oleh cucu-cucunya. Kebersamaan bersama istri, anak-anak, dan cucu-cucu adalah hal yang paling Bismar senangi. Melihat mereka tumbuh dan berkembang membuat Bismar merasa hidupnya sangatlah indah. Bismar tidak ingin cucu-cucunya merasakan apa yang ia rasakan dulu, tak pernah merasakan belaian kasih sayang opung yang pergi saat Bismar masih sangat kecil.

“Opunggggg.....tadi aku dinakalin temanku,” tutur Yasmin, salah satu cucu kembar Bismar yang baru saja kembali dari sekolah. Bismar pun langsung memberikan pelukan serta ciuman hangat tanda rasa sayang yang begitu besar terhadap cucunya itu. Kemudian, Bismar pun memberikan nasihat pada sang cucu agar sabar menghadapi ulah temannya yang nakal. Sang cucu langsung tersenyum dan pamit untuk berganti pakaian.

Bismar adalah seorang suami, ayah, dan opung yang begitu dicintai. Senyum yang selalu ditebarkan memberi semangat bagi istri, anak-anak, dan cucu-cucunya. Bila ia tidak suka terhadap sesuatu, wajahnya tidak pernah menunjukkan raut tidak suka. Dia hanya tersenyum. Ketika dia marah karena suatu hal, ia memilih diam dan enggan memperlebar. Ia sama sekali tidak mau ada ketegangannya. Jadi, jika ia diam saja itu menandakan ada yang mengganjal di hatinya.

Sikap penyayang Bismar juga dirasakan betul oleh istri, anak-anak, dan cucu-cucu Bismar. Maka, mereka tak segan untuk bercerita apapun pada Bismar. Sikap ikhlas yang tertanam kuat di diri Bismar, tak lupa ia tanamkan juga pada anak-anak. Maka, meski Bismar kerap dipindahtugaskan tak membuat Bismar dan keluarganya mengeluh. Istri dan anak-anak kerap ikut kemanapun Bismar berdinas, hanya saat di Ambon istri dan anak-anaknya tidak ikut.

Jika ada waktu senggang, Bismar dan keluarga besarnya mencari tempat-tempat yang menyenangkan untuk sekedar melepas kepenatan. Makan malam bersama juga selalu Bismar dan istri biasakan untuk Anak-anak dan cucu-cucu yang hingga kini masih tinggal bersamanya. Itu lah Cara Bismar dan Anen untuk membangun kebersamaan antara anak-anak dan cucu-cucunya.

Ada kebiasaan unik yang hingga kini tak pernah berubah dari seorang Bismar. Ia kerap membawa minuman dan makanan dari rumah. Saat menjadi hakim agung pun, dia kerap meminta Anen menyiapkan bekal. Ia bukan tipe orang yang suka makan di restoran atau makan di luar rumah. Bagi Bismar, masakan istri tercinta adalah makanan paling enak sedunia. Anen menyebut gulai pakis sebagai makanan favorit suaminya. Setiap ada kerabat di Medan yang akan ke Jakarta, Anen tak lupa memesan pakis untuk memberikan suguhan istimewa pada Bismar.

Bismar bukanlah sosok yang mendominasi apalagi otoriter. Ia selalu menjadi pendengar yang baik dan senang memberi nasihat. Berbagai masalah mulai dari hal kecil hingga hal besar selalu ia diskusikan dengan istrinya. “Kata Bapak, perempuan itu mengambil keputusan dengan emosional, sedangkan bapak-bapak mengambil keputusan dengan logika. Jadi, supaya seimbang,” ujar Anen dengan wajah bangga pada suaminya.
Lukisan Perlambang Cinta

Setelah 11 tahun 6 bulan mengabdi sebagai hakim agung, tahun 1995 pensiunlah Bismar. Praktis kegiatannya setelah pensiun hanya mengajar saja. Ia menjadi Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dekan Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Jakarta, dan Dosen Fakultas Hukum Jurusan Hukum Islam Universitas Pancasila Jakarta.

Kini memasuki usia senja, Bismar hanya mengajar di satu tempat saja. Dia menyadari bahwa semakin berumur, energi yang dimilikinya juga tak seperti saat muda. Apalagi, padat dan macetnya ibukota, membuat Bismar sering mengalami kejenuhan dan stres. Sekarang, dia hanya mengajar di Universitas Pancasila Jakarta.

Bila ada waktu kosong, Bismar memanfaatkan waktu untuk menulis. Hingga saat ini, ada sekitar 30 buah buku yang dikarang oleh Bismar. Beberapa diantaranya beredar dipasaran. Menulis adalah hobi Bismar sejak dahulu. Ketika ia menjabat sebagai hakim agung, ia selalu meminta sekretaris pribadinya untuk mengetikan naskah yang ia buat. Namun, setelah pensiun dan tak memiliki sekretaris pribadi lagi, dia harus melakukannya sendiri.

Lambat laun ia mulai bersahabat dengan teknologi. Ia mulai belajar menggunakan komputer karena tahu teknologi itu akan sangat mempermudah dirinya dalam hobi menulis. Di tengah malam, Bismar selalu bangun untuk solat tahajud. Biasanya, setelah tahajud ide demi ide mengalir di kepalanya dan jemari Bismarpun mulai bermain di atas tuts komputer.

Buku-buku karangan Bismar adalah kumpulan tulisan Bismar kemudian dibukukan. Tak penting laku tidaknya buku yang dia keluarkan. Tapi, bagaimana ilmu dan pengalaman yang Bismar miliki bisa dibagi kepada masyarakat. Pernah sekali waktu, buku yang tidak habis di toko buku berjumlah kurang lebih seribu buku. Akhirnya, Bismar menyerahkan buku-buku tersebut ke toko Wali Songo di daerah Kwitang dan menyuruh pengelola toko membagikan untuk pelanggannya secara cuma-cuma.

Selain menulis, Bismar punya hobi lain. Iya senang menuangkan perasaannya pada media kanvas dan cat minyak. Ya... Dia senang melukis. Lukisannya bergaya ekspresionis. Ia tak belajar dimana-mana untuk bisa melukis. Hanya berbekal kemauan dan coba-coba, jadilah sebuah lukisan indah dimana perasaan Bismar tertuang disana. Ia membuat pameran pada tahun 2008 silam, sekaligus merayakan hari ulang tahunnya yang ke-80 tahun.

Ada sebuah lukisan favorit Bismar yang merupakan perlambang cinta ia dan istrinya. Lukisan itu menggambarkan dua buah pohon yang daunnya sedang meranggas. Latar belakang pohon itu adalah suasana dikala senja. Dua pohon dengan latar belakang senja menggambarkan Bismar dan istrinya yang kini telah memasuki usia senja. Bismar pernah mengatakan pada istrinya, bahwa suatu saat pohon itu akan mati satu. “Entah saya atau dia. Kalau saya boleh meminta pada Tuhan, biar saya dulu karena saya biasa diurusi dia,”ujar Bismar.

Kegiatan Bismar yang lain adalah memberi dakwah tentang agama dan memberikan nasihat pernikahan. “Hidup itu sangat mudah. Manusianya sendiri yang sering membuat hidup menjadi susah,” tutur Bismar. Begitulah sosok Bismar Siregar. Hakim agung yang begitu dikenal dengan ketegasan sikapnya. Selalu menebar senyum dan keramahan.

Kamis, 11 Maret 2010

Sekolah si Kaya

Pendidikan di Indonesia sangatlah mengecewakan dan tak kunjung mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.

Saat saya di kelas 4 SD angkatan saya pernah dijadikan "kelinci percobaan". Angkatan saya dicoba menjadi siswa-siswi percobaan. Materi pelajaran kami dipadatkan menjadi Senin-Jumat, hingga harus pulang ke rumah pukul 15.30 WIB. Anak SD mana yang pulang sekolah sudah sangat sore seperti itu? Saya selalu merasa lelah pada malam harinya, hingga tak sempat belajar. Besok paginya, semangat untuk belajar sangat menurun. Bayangkan saja, anak seusia itu, harus menerima materi pelajaran yang sedemikian padat dan pulang cukup sore. Kelas Percobaan tadi, tidak diterapkan untuk angkatan dibawah saya.

Begitu pula di SMP dan SMA. Bagi saya, ketentuan yang dibuat pemerintah selalu saja berubah-rubah. Bahkan, saat kini saya di universitas pun pendidikan tak kunjung menemui titik terang. Kurikulum angkatan saya dengan angkatan atas atau bawah saya sama sekali berbeda. Mungkin bukan hanya fakultas saya yang masih "mencari" formula terbaik untuk pengajaran, mungkin semua fakultas di semua universitas.

Yang paling saya khawatirkan adalah jurusan kedokteran. Sebab, jurusan tersebut berhubungan dengan nyawa manusia. Belakangan ini kita banyak mendengar bahwa dokter-dokter sering melakukan tindakan malpraktik. Bisa jadi, tindakan malpraktik ini akibat pengajaran di universitas yang kurang sempurna dan penyeleksian calon-calon dokter yang kurang ketat.

Saya sering mendengar, bahwa di sejumlah universitas bersedia menerima mahasiswa baru kedokteran dengan membayar sejumlah uang. Jika sebenarnya orang tersebut tidak mampu mengikuti pendidikan kedokteran, kenapa harus dipaksakan? Dampaknya tentu secara langsung kepada masyarakat, yakni dengan tindakan malpraktik itu.

Baru-baru ini saya mendengar berita mengejutkan, bahwa beberapa SMP dan SMA Negeri unggulan di Indonesia akan diubah menjadi Sekolah Internasional. Mengapa saya terkejut? Sekolah Internasional berarti jelas bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris. Fasilitas untuk menunjang Sekolah Internasional juga perlu ditingkatkan. Secara otomatis, membutuhkan biaya yang besar. Pemerintah tidak mungkin memberikan subsidi dalam jumlah besar bukan? Sebab, dana yang dimiliki pemerintah bukan hanya untuk sektor pendidikan. Lalu, sekolah negeri yang notabene tidak memiliki yayasan tentu tidak mampu menanggung sepenuhnya biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan fasilitas.

Otomatis biaya peningkatan fasilitas dibebankan kepada siswa baru yang mendaftar. Tentu biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Maka, secara otomatis pula, siswa baru yang mendaftar harus membayar dengan biaya yang cukup besar. Bayangkan saja, sekolah negeri, yang notabene milik pemerintah mengharuskan siswanya membayar cukup mahal. Lalu apa bedanya dengan sekolah swasta? Berarti secara logika, siswa yang orang tuanya tidak mampu tidak dapat mendaftar. Itu tandanya pemerintah menutup akses bagi orang tidak mampu secara finansial, tapi sebenarnya mempunyai kemampuan besar alias pandai. Jadi, sekolah semacam ini bisa disebut sekolah untuk si kaya.

Pertanyaan berikutnya, apakah SDM yang dibutuhkan berkompeten? Seperti yang kita ketahui, sebagian besar tenaga pengajar alias guru yang mengajar di sekolah-sekolah negeri sudah cukup berumur. Tidak semua dari guru-guru tersebut yang fasih berbahasa Inggris. Tentu diusia yang cukup berumur itu, sulit sekali untuk melatih guru-guru itu agar segera fasih berbahasa Inggris. Jika harus menunggu guru-guru tersebut fasih dan mudah menyampaikan materi dalam bahasa Inggris, tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Di samping itu, harus ada biaya lagi yang keluar untuk melatih guru-guru secara intensif belajar bahasa Inggris. Jika sudah bisa berbicara bahasa Inggris cukup lancar, pekerjaan guru-guru tidak sampai di situ, mereka masih harus mencari cara untuk menyampaikan materi yang mudah diterima siswa-siswi, tentunya dengan BAHASA INGGRIS.

Lalu saya jadi bertanya-tanya, apakah Undang-undang Dasar '45,Sumpah Pemuda dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya juga harus disuarakan dengan Bahasa Inggris? Apalagi salah satu poin di Sumpah Pemuda menyebutkan "Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia" hmmmmmm......
Finally....
Gw update blog lagi...Kesibukan gw yg cukup padet bikin gw ga sempet buat ngupdate blog ini.
Gw mau cerita hidup gw yang belakangan ini penuh warna. Dimulai dari beberapa pekerjaan di sebuah majalah remaja yang gw dapetin. Gw dapet kerjaan buat ngebimbing adek-adek yang mau jadi model. Seneng banget sih. Gw belajar buat mengenali karakter orang. Belajar buat mengkoordinir 40 anak-anak luar biasa yang punya talenta besar dan terkadang susah diatur....hmmmm (i love my Coverboy 2009 and my BGirl 2010). Tapi, itu semua bikin gw belajar, terutama belajar sabar.hehe. Pekerjaan ini sangat-sangat menyenangkan. Gw bener-bener bisa have fun ngejalaninnya dan yang terpenting keluar sejenak dari perkuliahan yang menjemukan!haha...

Selanjutnya, gw ngerjain proyek feature TV bersama temen-temen istimewa. Inda Astri Andini, Siti Nurjanah, Indah Tri Novita, Bagus Dwi Cahyo, and Suhervandri (i love you all). Begitu banyak cerita yang kita buat. Mulai dari berantem, ketawa, kesel, marah, seneng, dan berbagai rasa yang gw bingung gimana ngungkapinnya. Gw ga bisa ngelupain masa-masa 3 hari bersama.

Masa-masa ngebikin OJ buat anak-anak 2008 juga menjadi masa dimana memberikan pembelajaran buat gw. Dimasa itu, gw lagi dimasa ga bisa bagi waktu antara pekerjaan, kuliah, sama ngurusin OJ. Alhasil, gw ga turun lebih banyak ke OJ (i'm sorry...) Jujur di dalam hati gw, gw sedih tau. Gw keilangan banyak moment bersama kalian. Pekerjaan gw di OJ yang harusnya gw kerjain banyak yang miss ampe akhirnya harus pindah tangan. Sekali lagi maaf. Gw ngerasa bersalah banget sama kalian. Tapi, gw ga bisa berbuat apa-apa. Makanya, gw janji ama diri gw sendiri kalo seminggu sampe malem puncak gw bakal ngosongin waktu gw. Ternyata konflik ga kunjung reda. Mungkin semua orang lagi sama-sama cape. Makanya acara perang mulut, perang dingin, atau apapun namanya ga bisa dihindarin. Tapi, itu kan yang bikin skrg kita semakin dekat kan teman-teman?

Terus masa-masa gw jadi miss hoki. "Aduhhh ada apa dengan sayaa....??" Cuma itu kalimat yang bisa gw ucapin begitu gw sadar kalo gw jadi miss hoki. Dimulai dari IP yang melonjak drastis mencapai angka hampir 4 (tak ada yg percaya, saya juga tidak). Entah bagaimana bisa. Apa-apa dipermudah. Menang lomba presenter. Sampe menang tiket javajazz. hahahaha. Smoga kehokian terus berlanjut...Aminnnnn


Sekarang, saya hanya ditemani laptop untuk mengupdate blog ini.

Love,

Anisa Saptari

Rabu, 28 Januari 2009


Kemarin malam tgl 27 januari 2008 sekitar pukul 8, sepupu gw Gusti Rama yang akrab di sapa Aam menghembuskan nafas terakhirnya di RS Sawangan, Depok. Gw yang lagi chatting dan sibuk buka FB tiba2 dapet sms dari sepupu gw yang lain kalau orang yang gw sapa Kak Aam itu udah pergi untuk selama-lamanya. Sedih? Sudah pasti. Kehilangan? Sudah pasti.Tapi,kita ga boleh meratap kan?kita hrs terima kematian itu karena suatu ketika kita juga akan kembali pada-Nya. Terakhir gw ketemu dia di rumah gw di Depok waktu ada acara kumpul keluarga. Saat itu, dia udah sakit dan dia cuma bisa tiduran karena badannya lemes. Sempet ada percakapan singkat antara gw sama dia.
Icha(I): Lah Kak Aam sakit? Sakit apa?
Aam(A) : Iya nih cha. Bengkak nih. (Sambil nunjukin lehernya yang bengkak)
I : Ya ampun kenapa tuh? (Kak Aam cuma menggelengkan kepalanya). Ke dokter gih.
A : Iya,iya. mau.
Hanya itu obrolan yang sempet kami lakukan. Gw juga ga tega buat ngajak ngobrol dia lebih banyak lagi karena gw tau dia nahan sakit. Entah penyakit apa yang menggerogoti badannya yang memang kurus itu. Dia orang baik. Di balik penampilannya yang sangar dia punya sejuta kebaikan hati dan satu yg gw salut dia bisa begitu menyayangi dan memperhatikan nyokapnya. Kak Aam belum lama tinggal ama nyokapnya. Sebelumnya mereka cuma ketemu beberapa waktu sekali dan mereka tinggal terpisah. Ada satu kelegaan di hati gw. setidaknya sebelum dia pergi meninggalkan dunia ini dia udh sempet ngerasain tinggal sama nyokapnya.Kita ga pernah tau kapan kita mau diambil sama yang diatas. Seharusnya mulai dari sekarang ini kita menyiapkan diri untuk bekal kita menuju hadapan sang Khalik.Saat jazad kita sudah menyatu dengan tanah, itu tandanya kita akan menuju ke kehidupan kekal yang menuntut pertanggung jawaban kita di dunia. Selamat jalan Kak Aam doaku menyertaimu selalu........

Rabu, 21 Januari 2009

Cerpen Belum Dikasi Judul..

Gw disuru bikin cerpen ttg wartawan gtu. Nah, karena gw udh ga punya ide akhirnya tercipta lah sebuah cerita sinetron. Kayanya abis ini indosiar ngontrak gw jadi penulis cerita film dubbingnya.hahaha
berikut cuplikan cerpennya. oiya,cerpennya belum dikasi judul jadi kalo ada yg mau bantuin kasi judul boleh kok....


Caca adalah seorang gadis berusia 25 tahun. Pasti tidak ada yang menyangka di balik penampilan fashionable-nya, ia bergelut di dunia kewartawanan karena gaya berpakaiannya sama sekali tidak mencerminkan seorang wartawan. Ia memakai terusan berwarna merah muda dengan stiletto warna senada dengan bajunya. Rambut pendek sebahu dengan kacamata berbingkai ungu tua. Iya memakai perona pipi warna merah muda pula. Penampilannya memang sangat menawan jauh dr kesan dekil yang kata orang identik dengan wartawan.
Lulusan jurusan jurnalistik dari sebuah universitas negeri di Kota Bandung ini, juga tidak seperti wartawan pada umumnya. Jika wartawan senang membaca majalah serius atau menonton tayangan berita, Caca gemar membaca tabloid gosip dan tayangan gosip. Tapi, cita-citanya tidak pernah luntur. Caca ingin menjadi wartawan kriminalitas.
Memang hobi dan cita-cita Caca sangat bertolak belakang. Tapi, jangan ragukan kemampuan Caca dalam meliput masalah kriminal. Dengan polisi pun, Caca mampu menjalin hubungan baik. Ia begitu mengerti apa saja pasal-pasal mengenai tindakan kriminalitas. Jadi, jangan mengira dia tidak tahu apa-apa soal bidangnya tersebut.
Sudah 3 tahun ini, Caca bekerja di surat kabar Jakarta Macet, sebuah surat kabar yang cukup terkenal di Kota Jakarta. Sebagai seorang wartawan kriminalitas, Caca banyak turun ke lapangan dan bertemu banyak orang. Memang Caca sosok yang ramah dan mampu dekat dengan banyak orang. Ia tahu persis bahwa pekerjaannya menuntutnya ekstra hati-hati karena seringkali berbagai liputannya membahayakan dirinya.
Pagi itu, disaat Caca sedang melakukan persiapan untuk liputan sebuah tindak kriminalitas, tiba-tiba ia teringat sosok Herman, cinta pertamanya. Entah mengapa, walaupun kini ia telah bertunangan dengan Deni, kekasih yang telah memacarinya 2 tahun belakangan, ia tetap masih memikirkan Herman. Herman memang bukan pria baik-baik, dia senang minum alkhohol dan senang memakai obat-obatan terlarang.
Telepon dari Pak Niko membuyarkan lamunan Caca. Pemimpin redaksi tempatnya bekerja itu mengingatkan bahwa pukul 11.00 WIB ia tak boleh telat datang ke Kapolsek Kramat Jati. Kali ini ia harus meliput mengenai aksi pencurian motor yang terjadi di daerah Kramat Jati tersebut. Ia bersama seorang fotografer segera berangkat menuju lokasi kejadian.
Hari itu panas di Jakarta sangat terik. Caca tidak takut kulitnya yang putih dan mulus tersengat matahari. Ia merasa sun block cukup bisa menangkal sengatan matahari. Usai liputan itu, dia duduk di pinggir jalan sambil menikmati segelas es cendol. Ya, meliput kriminal memang sangat lelah. Tak seperti saat dirinya masih memegang liputan seni dan budaya. Tapi, itu lah keinginannya. Baginya, untuk mewujudkan keinginan yang bagi orang tuanya cukup aneh itu, Caca harus bekerja keras.
Malam harinya, tunangan Caca datang untuk membicarakan hari bahagia mereka. Tapi kali itu Caca enggan membicarakan. Pikirannya masih pada Herman. Ia mengingat masa-masa bahagia bersama Herman, saat ia masih menjalin cinta bersama Herman. Entah apa yang merasuki jiwa Caca, Ia mengusir Deni. Mereka beradu mulut dan brakkk…..!! Caca jatuh tak sadarkan diri.
Ketika terbangun, ia melihat sekelilingnya, tempat yang asing baginya. Ya, dia di rumah sakit. Sebuah tempat yang paling enggan dikunjunginya. Namun, apa daya sekarang ia sudah berada di rumah sakit dengan selang infus ditangannya. Ingin rasanya ia pergi dari tempat yang paling dibencinya itu. Deni yang menemaninya di rumah sakit, terbangun. Deni pun segera meminta maaf. Caca mengangguk lemah.
Selang beberapa lama, dokter memanggil Deni. Keluarga Caca tidak dapat datang karena ayahnya kini tinggal bersama kakaknya di sebuah pedalaman di Jayapura. Sangat sulit akses menuju Jakarta. Sang ibu telah tiada. Saudara di Jakarta tidak ada yang dekat betul dengan Caca. Hanya Deni yang bisa merawat dan memperhatikan Caca sepenuhnya.
Deni masuk ke ruang dokter. Wajah si dokter tampak muram. Seakan-akan ada sebuah beban berat yang hendak dibagi. Deni lekas bertanya sang tunangan menderita penyakit apa. “Kanker otak stadium 2….” Ujar dokter pelan. Deni tak percaya. Ia merasa salah mendengar dan meminta dokter mengulang sekali lagi. Tapi, jawabannya tetap sama. Kanker otak stadium 2 tengah menggerogoti tubuh orang yang begitu dicintainya. Seorang wartawan kriminalitas yang cantik dan keras kepala. Giliran Deni yang limbung.
Perlahan-lahan Deni berjalan menuju kamar Caca. Tatapannya kosong dan ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Deni membuat sebuah keputusan besar, yakni MENIKAHI CACA SEGERA. Ia segera menemui Caca dan menyatakan keinginannya untuk mempercepat pernikahan. Caca tegas-tegas menolak. Ia masih ingin mengembangkan karier kewartawanannya. Ia tak mau pernikahan dan anak-anak kelak menjadi penghambat.
Deni terus memaksa, namun Caca juga tetap menolak. Setelah 3 hari dirawat, Caca diperbolehkan pulang. Sehari kemudian, ia sudah masuk kantor. Pak Niko heran karena Caca sudah masuk dan menanyakan apa yang harus dikerjakannya. Pak Niko sungguh tak tega dengan bibir Caca yang masih pucat dan badan yang masih terlihat lemas. Caca, bersikukuh untuk tetap bekerja. Pak Niko pun mengalah.
Liputan kali ini Caca harus menemui Kapolsek Cikini untuk menggali informasi lebih banyak mengenai sindikan pengedar obat-obatan terlarang. Caca segera mempersiapkan segala keperluan dan berangkat bersama Pak Niko. Pak Niko sendiri yang menemani karena koran mereka akan mendapatan liputan ekslusif, mulai dari persiapan penangkapan hingga penangkapannya.
Setibanya di polsek Cikini, Caca dan Pak Niko langsung menemui kapolsek. Kapolsek Cikini menyambut ramah dan mempersilahkan Caca dan Pak Niko ke ruangannya. Ia pun segera memberikan gambaran mengenai proses penangkapan. Kapolsek juga memberikan foto salah satu Bandar narkoba yang menjadi sasaran penangkapan. Foto itu ada di tangan Caca sekarang dan Caca segera berlari keluar ruangan.
Kapolsek dan Pak Niko tentu sangat terkejut karena sikap Caca yang tiba-tiba keluar ruangan. Herman Taulani. Kekasih yang begitu dicintainya beberapa tahun silam. Herman yang selalu membayang-bayangi Caca. Caca tak kuasa menahan tangis. Di depan ruangan kapolsek ia menangis. Pak Niko menyusulnya dan menanyakan apa yang terjadi. Caca tak mampu berkata-kata.
Setelah Caca sedikit tenang, Pak Niko kembali menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Caca pun jujur pada Pak Niko yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri. “Itu Herman yang sering Caca certain, Pak..” ujar Caca diiringi isak tangis. Pak Niko bingung dan tak tahu harus berkata apa. Kapolsek pun langsung berujar, “Mbak Caca kalau mbak kenal denga orang ini, Anda harus membantu kami. Ini kan meresahkan masyarakat.”
Caca dihadapkan pada pilihan yang sulit. Di satu sisi, ia harus membantu kerja polisi karena tindakan para bandar narkoba itu sudah sangat meresahkan warga. Kemarin saja, ada ibu-ibu yang melaporkan bahwa anaknya ditawari semacam permen oleh orang yang tidak dikenalnya. Di sisi lain, ia tak sanggup bila melihat Herman yang begitu disayanginya harus hidup dibalik jeruji besi.
Akhirnya, Caca membuat keputusan untuk membantu kerja polisi. Ia juga punya misi lain, yakni menyadarkan Herman atas perbuatannya yang salah itu. Caca tahu bahwa selama ini Herman memang pengguna narkoba, bahkan saat masih berpacaran dengannya dia juga kerap meminjam uang dalam jumlah yang cukup banyak. Rasa cinta Caca yang begitu besar membuat Caca rela mengeluarkan uang berapa pun. Uang bulanan dan uang hasil jerih payah magang di majalah pun ludes hanya untuk Herman. Caca kembali mengingat masa-masa itu. Masa dimana dirinya merasa bahagia dengan Herman.
Kini masa bahagia itu hanya tinggal kenangan. Saat Herman pergi untuk wanita lain yang jauh lebih beruang dibanding dirinya. Herman memang butuh uang untuk membeli obat-obatan haram itu. Ada sedikit rasa syukur di hati Caca karena ia tek perlu lagi terjerumus dosa membelikan barang haram itu untuk Herman. Tapi, rasa cinta itu tetap ada.
Kapolsek menyapa Caca dengan lembut seakan-akan tahu apa yang sedang dipikirkan Caca. Caca berhenti menangis dan mencoba untuk menenangkan diri. Diseruputnya teh manis hangat yang disajikan untuknya. Caca sudah mulai tenang. “Saya siap membantum, Pak.” Ujar Caca. Kapolsek dan Pak Niko tersenyum lega. Caca masih tetap gundah gulana walaupun telah menyanggupi permintaan kapolsek untuk menghubungi Herman. “Herman, kamu dimana? Aku mau ketemu.” kata Caca penuh harap. Caca tersenyum senang dan mengatur tempat, serta waktu pertemuan. Entah mengapa Caca menjadi begitu bahagia hari itu. Mungkin karena pertemuannya dengan Herman.
Esok hari pukul 09.00 WIB, Caca sudah siap pergi. Ia tampak segar dan cantik. Tiba-tiba Deni datang dan melarangnya untuk pergi. Tapi, Caca adalah orang yang keras kepala. Dia tetap nekat untuk pergi dan perang mulut tak dapat dihindarkan. Caca segera naik ke mobilnya dan meninggalkan Deni. Deni hanya tertegun melihat kepergian Caca. Caca tiba di restoran tempat dirinya sering menghabiskan waktu dengan Herman. Dia kembali rindu masa itu.
Tak lama kemudiaan, datang seorang pria bertubuh bongsor dengan anting di kedua kupingnya. Dia Herman, pria yang Caca tunggu-tunggu kehadirannya kini di depan matanya. Herman langsung memeluk Caca dan bau alkhohol pun tercium dari mulutnya. Herman tak pernah berubah. Dia selalu saja begini. Mereka mengobrol untuk melepas rindu. Kapolsek telah mengirim anak buahnya untuk mengawasi pertemuan ini. Saat Caca pergi ke kamar mandi, penangkapan itu terjadi.
Kini borgol telah mengikat kedua tangan Herman. Herman akan segera mendekam di balik jeruji besi. Caca datang untuk meminta maaf kepada Herman atas penjebakan yang dilakukannya. “Pengkhianat kamu!!!” ujar Herman berulang kali. Caca berurai air mata. Tak lama kemudian tubuhnya kembali tumbang.

Tulisan Ga Penting............

sangat sulit ya untuk mengerti ttg dunia ini dan semua yang ada di dalamnya. gw ga habis pikir knp masalah itu ga pernah ada abisnya.sumpah yang namanya beban berat ya gw dapetin nih sekarang.tapi hidup yang kita jalani skrg adalah konsekuensi pilihan kita.doain aja ya masalah dan semua urusan gw beres dan ga menyisakan kesedihan di hati gw.dukung gw terus ya.belakangan gw males ngisi blog ini dengan panjang lebar karena gw sgt malassss...