Kamis, 11 Maret 2010

Sekolah si Kaya

Pendidikan di Indonesia sangatlah mengecewakan dan tak kunjung mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.

Saat saya di kelas 4 SD angkatan saya pernah dijadikan "kelinci percobaan". Angkatan saya dicoba menjadi siswa-siswi percobaan. Materi pelajaran kami dipadatkan menjadi Senin-Jumat, hingga harus pulang ke rumah pukul 15.30 WIB. Anak SD mana yang pulang sekolah sudah sangat sore seperti itu? Saya selalu merasa lelah pada malam harinya, hingga tak sempat belajar. Besok paginya, semangat untuk belajar sangat menurun. Bayangkan saja, anak seusia itu, harus menerima materi pelajaran yang sedemikian padat dan pulang cukup sore. Kelas Percobaan tadi, tidak diterapkan untuk angkatan dibawah saya.

Begitu pula di SMP dan SMA. Bagi saya, ketentuan yang dibuat pemerintah selalu saja berubah-rubah. Bahkan, saat kini saya di universitas pun pendidikan tak kunjung menemui titik terang. Kurikulum angkatan saya dengan angkatan atas atau bawah saya sama sekali berbeda. Mungkin bukan hanya fakultas saya yang masih "mencari" formula terbaik untuk pengajaran, mungkin semua fakultas di semua universitas.

Yang paling saya khawatirkan adalah jurusan kedokteran. Sebab, jurusan tersebut berhubungan dengan nyawa manusia. Belakangan ini kita banyak mendengar bahwa dokter-dokter sering melakukan tindakan malpraktik. Bisa jadi, tindakan malpraktik ini akibat pengajaran di universitas yang kurang sempurna dan penyeleksian calon-calon dokter yang kurang ketat.

Saya sering mendengar, bahwa di sejumlah universitas bersedia menerima mahasiswa baru kedokteran dengan membayar sejumlah uang. Jika sebenarnya orang tersebut tidak mampu mengikuti pendidikan kedokteran, kenapa harus dipaksakan? Dampaknya tentu secara langsung kepada masyarakat, yakni dengan tindakan malpraktik itu.

Baru-baru ini saya mendengar berita mengejutkan, bahwa beberapa SMP dan SMA Negeri unggulan di Indonesia akan diubah menjadi Sekolah Internasional. Mengapa saya terkejut? Sekolah Internasional berarti jelas bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris. Fasilitas untuk menunjang Sekolah Internasional juga perlu ditingkatkan. Secara otomatis, membutuhkan biaya yang besar. Pemerintah tidak mungkin memberikan subsidi dalam jumlah besar bukan? Sebab, dana yang dimiliki pemerintah bukan hanya untuk sektor pendidikan. Lalu, sekolah negeri yang notabene tidak memiliki yayasan tentu tidak mampu menanggung sepenuhnya biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan fasilitas.

Otomatis biaya peningkatan fasilitas dibebankan kepada siswa baru yang mendaftar. Tentu biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Maka, secara otomatis pula, siswa baru yang mendaftar harus membayar dengan biaya yang cukup besar. Bayangkan saja, sekolah negeri, yang notabene milik pemerintah mengharuskan siswanya membayar cukup mahal. Lalu apa bedanya dengan sekolah swasta? Berarti secara logika, siswa yang orang tuanya tidak mampu tidak dapat mendaftar. Itu tandanya pemerintah menutup akses bagi orang tidak mampu secara finansial, tapi sebenarnya mempunyai kemampuan besar alias pandai. Jadi, sekolah semacam ini bisa disebut sekolah untuk si kaya.

Pertanyaan berikutnya, apakah SDM yang dibutuhkan berkompeten? Seperti yang kita ketahui, sebagian besar tenaga pengajar alias guru yang mengajar di sekolah-sekolah negeri sudah cukup berumur. Tidak semua dari guru-guru tersebut yang fasih berbahasa Inggris. Tentu diusia yang cukup berumur itu, sulit sekali untuk melatih guru-guru itu agar segera fasih berbahasa Inggris. Jika harus menunggu guru-guru tersebut fasih dan mudah menyampaikan materi dalam bahasa Inggris, tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Di samping itu, harus ada biaya lagi yang keluar untuk melatih guru-guru secara intensif belajar bahasa Inggris. Jika sudah bisa berbicara bahasa Inggris cukup lancar, pekerjaan guru-guru tidak sampai di situ, mereka masih harus mencari cara untuk menyampaikan materi yang mudah diterima siswa-siswi, tentunya dengan BAHASA INGGRIS.

Lalu saya jadi bertanya-tanya, apakah Undang-undang Dasar '45,Sumpah Pemuda dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya juga harus disuarakan dengan Bahasa Inggris? Apalagi salah satu poin di Sumpah Pemuda menyebutkan "Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia" hmmmmmm......

2 komentar:

Dimas Dito mengatakan...

formula mah ga akan pernah statis ur. ganti presiden, ganti kabinet, pendidikan old skul macam gini bakal terus berlanjut. maunya adaptasi dari luar negeri malah duitnya biasalah, dimakan sendiri. hahhahaa

Dimas Dito mengatakan...

alamak caur. hahaha