Rabu, 21 Januari 2009

Cerpen Belum Dikasi Judul..

Gw disuru bikin cerpen ttg wartawan gtu. Nah, karena gw udh ga punya ide akhirnya tercipta lah sebuah cerita sinetron. Kayanya abis ini indosiar ngontrak gw jadi penulis cerita film dubbingnya.hahaha
berikut cuplikan cerpennya. oiya,cerpennya belum dikasi judul jadi kalo ada yg mau bantuin kasi judul boleh kok....


Caca adalah seorang gadis berusia 25 tahun. Pasti tidak ada yang menyangka di balik penampilan fashionable-nya, ia bergelut di dunia kewartawanan karena gaya berpakaiannya sama sekali tidak mencerminkan seorang wartawan. Ia memakai terusan berwarna merah muda dengan stiletto warna senada dengan bajunya. Rambut pendek sebahu dengan kacamata berbingkai ungu tua. Iya memakai perona pipi warna merah muda pula. Penampilannya memang sangat menawan jauh dr kesan dekil yang kata orang identik dengan wartawan.
Lulusan jurusan jurnalistik dari sebuah universitas negeri di Kota Bandung ini, juga tidak seperti wartawan pada umumnya. Jika wartawan senang membaca majalah serius atau menonton tayangan berita, Caca gemar membaca tabloid gosip dan tayangan gosip. Tapi, cita-citanya tidak pernah luntur. Caca ingin menjadi wartawan kriminalitas.
Memang hobi dan cita-cita Caca sangat bertolak belakang. Tapi, jangan ragukan kemampuan Caca dalam meliput masalah kriminal. Dengan polisi pun, Caca mampu menjalin hubungan baik. Ia begitu mengerti apa saja pasal-pasal mengenai tindakan kriminalitas. Jadi, jangan mengira dia tidak tahu apa-apa soal bidangnya tersebut.
Sudah 3 tahun ini, Caca bekerja di surat kabar Jakarta Macet, sebuah surat kabar yang cukup terkenal di Kota Jakarta. Sebagai seorang wartawan kriminalitas, Caca banyak turun ke lapangan dan bertemu banyak orang. Memang Caca sosok yang ramah dan mampu dekat dengan banyak orang. Ia tahu persis bahwa pekerjaannya menuntutnya ekstra hati-hati karena seringkali berbagai liputannya membahayakan dirinya.
Pagi itu, disaat Caca sedang melakukan persiapan untuk liputan sebuah tindak kriminalitas, tiba-tiba ia teringat sosok Herman, cinta pertamanya. Entah mengapa, walaupun kini ia telah bertunangan dengan Deni, kekasih yang telah memacarinya 2 tahun belakangan, ia tetap masih memikirkan Herman. Herman memang bukan pria baik-baik, dia senang minum alkhohol dan senang memakai obat-obatan terlarang.
Telepon dari Pak Niko membuyarkan lamunan Caca. Pemimpin redaksi tempatnya bekerja itu mengingatkan bahwa pukul 11.00 WIB ia tak boleh telat datang ke Kapolsek Kramat Jati. Kali ini ia harus meliput mengenai aksi pencurian motor yang terjadi di daerah Kramat Jati tersebut. Ia bersama seorang fotografer segera berangkat menuju lokasi kejadian.
Hari itu panas di Jakarta sangat terik. Caca tidak takut kulitnya yang putih dan mulus tersengat matahari. Ia merasa sun block cukup bisa menangkal sengatan matahari. Usai liputan itu, dia duduk di pinggir jalan sambil menikmati segelas es cendol. Ya, meliput kriminal memang sangat lelah. Tak seperti saat dirinya masih memegang liputan seni dan budaya. Tapi, itu lah keinginannya. Baginya, untuk mewujudkan keinginan yang bagi orang tuanya cukup aneh itu, Caca harus bekerja keras.
Malam harinya, tunangan Caca datang untuk membicarakan hari bahagia mereka. Tapi kali itu Caca enggan membicarakan. Pikirannya masih pada Herman. Ia mengingat masa-masa bahagia bersama Herman, saat ia masih menjalin cinta bersama Herman. Entah apa yang merasuki jiwa Caca, Ia mengusir Deni. Mereka beradu mulut dan brakkk…..!! Caca jatuh tak sadarkan diri.
Ketika terbangun, ia melihat sekelilingnya, tempat yang asing baginya. Ya, dia di rumah sakit. Sebuah tempat yang paling enggan dikunjunginya. Namun, apa daya sekarang ia sudah berada di rumah sakit dengan selang infus ditangannya. Ingin rasanya ia pergi dari tempat yang paling dibencinya itu. Deni yang menemaninya di rumah sakit, terbangun. Deni pun segera meminta maaf. Caca mengangguk lemah.
Selang beberapa lama, dokter memanggil Deni. Keluarga Caca tidak dapat datang karena ayahnya kini tinggal bersama kakaknya di sebuah pedalaman di Jayapura. Sangat sulit akses menuju Jakarta. Sang ibu telah tiada. Saudara di Jakarta tidak ada yang dekat betul dengan Caca. Hanya Deni yang bisa merawat dan memperhatikan Caca sepenuhnya.
Deni masuk ke ruang dokter. Wajah si dokter tampak muram. Seakan-akan ada sebuah beban berat yang hendak dibagi. Deni lekas bertanya sang tunangan menderita penyakit apa. “Kanker otak stadium 2….” Ujar dokter pelan. Deni tak percaya. Ia merasa salah mendengar dan meminta dokter mengulang sekali lagi. Tapi, jawabannya tetap sama. Kanker otak stadium 2 tengah menggerogoti tubuh orang yang begitu dicintainya. Seorang wartawan kriminalitas yang cantik dan keras kepala. Giliran Deni yang limbung.
Perlahan-lahan Deni berjalan menuju kamar Caca. Tatapannya kosong dan ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Deni membuat sebuah keputusan besar, yakni MENIKAHI CACA SEGERA. Ia segera menemui Caca dan menyatakan keinginannya untuk mempercepat pernikahan. Caca tegas-tegas menolak. Ia masih ingin mengembangkan karier kewartawanannya. Ia tak mau pernikahan dan anak-anak kelak menjadi penghambat.
Deni terus memaksa, namun Caca juga tetap menolak. Setelah 3 hari dirawat, Caca diperbolehkan pulang. Sehari kemudian, ia sudah masuk kantor. Pak Niko heran karena Caca sudah masuk dan menanyakan apa yang harus dikerjakannya. Pak Niko sungguh tak tega dengan bibir Caca yang masih pucat dan badan yang masih terlihat lemas. Caca, bersikukuh untuk tetap bekerja. Pak Niko pun mengalah.
Liputan kali ini Caca harus menemui Kapolsek Cikini untuk menggali informasi lebih banyak mengenai sindikan pengedar obat-obatan terlarang. Caca segera mempersiapkan segala keperluan dan berangkat bersama Pak Niko. Pak Niko sendiri yang menemani karena koran mereka akan mendapatan liputan ekslusif, mulai dari persiapan penangkapan hingga penangkapannya.
Setibanya di polsek Cikini, Caca dan Pak Niko langsung menemui kapolsek. Kapolsek Cikini menyambut ramah dan mempersilahkan Caca dan Pak Niko ke ruangannya. Ia pun segera memberikan gambaran mengenai proses penangkapan. Kapolsek juga memberikan foto salah satu Bandar narkoba yang menjadi sasaran penangkapan. Foto itu ada di tangan Caca sekarang dan Caca segera berlari keluar ruangan.
Kapolsek dan Pak Niko tentu sangat terkejut karena sikap Caca yang tiba-tiba keluar ruangan. Herman Taulani. Kekasih yang begitu dicintainya beberapa tahun silam. Herman yang selalu membayang-bayangi Caca. Caca tak kuasa menahan tangis. Di depan ruangan kapolsek ia menangis. Pak Niko menyusulnya dan menanyakan apa yang terjadi. Caca tak mampu berkata-kata.
Setelah Caca sedikit tenang, Pak Niko kembali menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Caca pun jujur pada Pak Niko yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri. “Itu Herman yang sering Caca certain, Pak..” ujar Caca diiringi isak tangis. Pak Niko bingung dan tak tahu harus berkata apa. Kapolsek pun langsung berujar, “Mbak Caca kalau mbak kenal denga orang ini, Anda harus membantu kami. Ini kan meresahkan masyarakat.”
Caca dihadapkan pada pilihan yang sulit. Di satu sisi, ia harus membantu kerja polisi karena tindakan para bandar narkoba itu sudah sangat meresahkan warga. Kemarin saja, ada ibu-ibu yang melaporkan bahwa anaknya ditawari semacam permen oleh orang yang tidak dikenalnya. Di sisi lain, ia tak sanggup bila melihat Herman yang begitu disayanginya harus hidup dibalik jeruji besi.
Akhirnya, Caca membuat keputusan untuk membantu kerja polisi. Ia juga punya misi lain, yakni menyadarkan Herman atas perbuatannya yang salah itu. Caca tahu bahwa selama ini Herman memang pengguna narkoba, bahkan saat masih berpacaran dengannya dia juga kerap meminjam uang dalam jumlah yang cukup banyak. Rasa cinta Caca yang begitu besar membuat Caca rela mengeluarkan uang berapa pun. Uang bulanan dan uang hasil jerih payah magang di majalah pun ludes hanya untuk Herman. Caca kembali mengingat masa-masa itu. Masa dimana dirinya merasa bahagia dengan Herman.
Kini masa bahagia itu hanya tinggal kenangan. Saat Herman pergi untuk wanita lain yang jauh lebih beruang dibanding dirinya. Herman memang butuh uang untuk membeli obat-obatan haram itu. Ada sedikit rasa syukur di hati Caca karena ia tek perlu lagi terjerumus dosa membelikan barang haram itu untuk Herman. Tapi, rasa cinta itu tetap ada.
Kapolsek menyapa Caca dengan lembut seakan-akan tahu apa yang sedang dipikirkan Caca. Caca berhenti menangis dan mencoba untuk menenangkan diri. Diseruputnya teh manis hangat yang disajikan untuknya. Caca sudah mulai tenang. “Saya siap membantum, Pak.” Ujar Caca. Kapolsek dan Pak Niko tersenyum lega. Caca masih tetap gundah gulana walaupun telah menyanggupi permintaan kapolsek untuk menghubungi Herman. “Herman, kamu dimana? Aku mau ketemu.” kata Caca penuh harap. Caca tersenyum senang dan mengatur tempat, serta waktu pertemuan. Entah mengapa Caca menjadi begitu bahagia hari itu. Mungkin karena pertemuannya dengan Herman.
Esok hari pukul 09.00 WIB, Caca sudah siap pergi. Ia tampak segar dan cantik. Tiba-tiba Deni datang dan melarangnya untuk pergi. Tapi, Caca adalah orang yang keras kepala. Dia tetap nekat untuk pergi dan perang mulut tak dapat dihindarkan. Caca segera naik ke mobilnya dan meninggalkan Deni. Deni hanya tertegun melihat kepergian Caca. Caca tiba di restoran tempat dirinya sering menghabiskan waktu dengan Herman. Dia kembali rindu masa itu.
Tak lama kemudiaan, datang seorang pria bertubuh bongsor dengan anting di kedua kupingnya. Dia Herman, pria yang Caca tunggu-tunggu kehadirannya kini di depan matanya. Herman langsung memeluk Caca dan bau alkhohol pun tercium dari mulutnya. Herman tak pernah berubah. Dia selalu saja begini. Mereka mengobrol untuk melepas rindu. Kapolsek telah mengirim anak buahnya untuk mengawasi pertemuan ini. Saat Caca pergi ke kamar mandi, penangkapan itu terjadi.
Kini borgol telah mengikat kedua tangan Herman. Herman akan segera mendekam di balik jeruji besi. Caca datang untuk meminta maaf kepada Herman atas penjebakan yang dilakukannya. “Pengkhianat kamu!!!” ujar Herman berulang kali. Caca berurai air mata. Tak lama kemudian tubuhnya kembali tumbang.

1 komentar:

oktria anjangi mengatakan...

hmm.. lov it..
dari pengkarakteran..
it's like another feminism portrait..