Tulisan ini saya dedikasikan untuk : OPUNG BISMAR SIREGAR
“Haram hukumnya mengadili Pak Harto!” tutur Bismar Siregar. Pernyataan kontroversial tersebut diucapkan dengan tegas, namun tanpa emosi oleh pria asal batak yang menjabat sebagai Hakim Agung periode 1984-1995. Siapa yang tak kenal sosok hakim yang terkenal “bersih” dan idealis ini.Kejujurannya yang luar biasa sangat patut mendapat acungan jempol.
Begitulah sosok Bismar Siregar. Ketegasan sikapnya terlihat betul dari kata demi kata yang ia lontarkan. Namun, ia tak seperti orang batak pada umumnya yang bila berbicara menggebu-gebu dan penuh emosional. Tutur katanya sangat lembut dan selalu diiringi senyum tulus. Tak sedikitpun tercermin rasa takut akan setiap tindakan, ketakutannya hanya pada Tuhan.
Hakim agung yang disegani pada masa pemerintahan Soeharto itu ternyata memiliki masa lalu yang begitu berwarna. Pria kelahiran Sumatera Utara 15 September 1928 ini, tidak dapat menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya di HIS, Sipirok. Bahkan, ia tak pernah merasakan indahnya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Maklumlah, dulu yang bisa bersekolah di HIS adalah anak-anak dengan orang tua yang pekerjaan dan gajinya tinggi. Saat itu, orang tua Bismar hanyalah guru Sekolah Rakyat (SR) dengan gaji kecil. Padahal, anak-anak yang menjadi tanggungan orang tua ada 13 orang. Keluarga besar Bismar juga menggantungkan hidup hanya dengan bertani. Maka, Bismar dan saudara-saudaranya kerap dipanggil pihak sekolah karena menunggak uang sekolah.
Jarak HIS dengan rumah Bismar di Mandailing yang sekitar 60 km memaksa Bismar kecil dan beberapa saudaranya indekos di daerah Kotanopan. Dalam usia yang masih sangat muda, yakni 7 tahun Bimar harus rela kehilangan saat-saat bersama keluarga. Jika ada kesempatan untuk pulang ke Mandailing, Bismar menemui orang tua dan bisa merasakan kehangatan keluarga. Bila Bismar harus kembali lagi ke Sipirok, sedihnya bukan main.
Tinggal terpisah dengan orang tua membentuk Bismar menjadi sosok yang mandiri dan tahu menempatkan diri. Orang tuanya tidak membayar tempat indekos dengan uang, tapi dengan sistem barter. Biasanya, orang tua Bismar membayarnya dengan beras karena kondisi keuangan keluarga tidak memungkinkan. Di tempat indekos itu, Bismar juga harus ikhlas jika kasur miliknya dipinjam untuk tidur tamu dari tuan rumah. Bismar dan saudara-saudaranya terpaksa tidur di atas tikar.
Untuk menambah uang jajan Bismar kecil melakukan along-along ke Sidempuan. Along-along adalah berdagang keliling dengan menggunakan sepeda atau pedati. Barang-barang yang dijual adalah ayam, telur ayam, atau telur bebek. Biasanya along-along ini dilakukan Bismar satu kali dalam seminggu. Uang hasil penjualannya cukup lumayan.
Bismar sebenarnya tidak lagi berharap untuk sekolah karena orang tuanya tak ada biaya. Namun, suratan nasib mengatakan lain. Ia mendapat bantuan kakaknya agar dapat mengenyam pendidikan di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). “Tak selamanya KKN itu salah,” tutur Bismar diiringi derai tawanya. Saat itu, sang kakak adalah direktur Sekolah Pejuang di Magelang dan berupaya memasukan Bismar ke sekolah yang dipimpinnya.
Tuhan selalu punya rencana yang manis untuk hamba-Nya. Jika saja saat itu Bismar jadi merantau ke Pontianak, Kalimantan Barat, mungkin dia tak akan pernah merasakan nikmatnya duduk di bangku SMA. Ketika itu, kapal Kalabahi yang sedianya akan mengangkut Bismar ke Pontianak mengalami keterlambatan. Sang kakak, KS. Serdang yang menjadi direktur Sekolah Pejuang itu menjemput dan membawa Bismar ke Magelang, serta memaksa Bismar masuk SMA tanpa ijazah. Jadilah Bismar dapat bersekolah.
Setelah bersekolah di Sekolah Pejuang, ia pindah sekolah ke SMA di Bandung, Jawa Barat. Di tahun 1952, berbekal ijazah SMA, ia mendaftar ke Fakultas Hukum Univesitas Indonesia (FHUI). Ia memilih jurusan hukum karena menyadari kelemahannya di bidang aljabar. Kalau saja kala itu dia mampu di bidang aljabar dia akan memilih jurusan Ekonomi.
Masa-masa awal perkuliahan juga bukan tanpa hambatan. Meskipun Bismar sekolah di HIS, HIS di kampung jauh berbeda dengan HIS di kota. HIS di kampung sama sekali tidak menggunakan Bahasa Belanda. Padahal, di UI yang digunakan adalah Bahasa Belanda. Namun, kendala itu pun bisa dilewati karena Bismar mau berusaha keras. Hanya butuh empat tahun untuk Bismar dalam menimba ilmu di FHUI.
Kala itu, semua lulusan FHUI mendapat gelar Meester in de Rechter (Mr.), begitu juga Bismar. Namun, ketika ada pergantian gelar menjadi Sarjana Hukum (S.H.), Bismar turut serta. Belakangan ia disadarkan oleh seorang kawan, bahwa dulu ia diwisuda dengan gelar Mr., mengapa harus diganti S.H.? gelar saat Bismar diwisuda adalah gelar yang sah. Maka, ia akan segera mengganti gelar di kartu namanya. “S.H. itu kepanjangan dari sakit hati. Saya tidak mau. Haha...” tutur Bismar sambil tertawa.
Antek-antek Soeharto Kah?Bismar memang pribadi yang unik. Pernyataan yang dilontarkannya kerap kali menjadi pernyataan kontroversial. Misalnya saat, Bismar mengomentari soal kasus Soeharto yang bergulir, ia menyatakan keharaman untuk mengadili sosok orang yang pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia itu. Ia kembali mengenang perkenalannya dengan Soeharto.
Suatu saat ketika kasus Soeharto digulirkan ke pengadilan. Hari Kamis Soeharto menghadiri sidang. Lalu, pada hari Jumat Bismar tampil di televisi. Ia mengemukakan, mengadili Soeharto sama dengan melakukan penganiayaan dan itu haram hukumnya. Mengapa demikian? Bismar beralasan bahwa menurut agama yang diyakininya, Islam, diajarkan bahwa menyakiti orang yang sehat saja itu tidak boleh dan haram, apalagi pada orang yang sakit. Soeharto saat itu dalam kondisi sakit. Lagipula, Soeharto kala itu sudah menginjak usia 80 tahun. Usia menginjak 80 tahun itu adalah usia dimana Tuhan mengembalikan seorang manusia menjadi seperti anak-anak yang tanpa dosa.
Ia secara tegas mengatakan haram, ulama mengatakan tidak. Namun, ia tak peduli. Sebab, memang itulah yang diyakininya. Pernyataan itu tentu membuat Bismar menjadi bahan omongan. Masyarakat, pejabat, hingga orang di sekitar Bismar kerap membicarakannya. Bahkan, ada yang menyatakan Bismar adalah antek-antek Soeharto. Benarkah ia antek-antek Soeharto?
Bismar membantah bahwa ia adalah kaki tangan Soeharto. Ia juga membantah bahwa pernyataan demi pernyataannya yang terkesan “membela” Soeharto. Hanya masyarakat tak lekas percaya. Pada akhirnya, Bismar memilih diam dan membiarkan fitnah-fitnah mewarnai kehidupannya. Bismarpun tak bergeming. Ia diam, bukan berarti dia membenarkan. “Kebenaran yang hakiki hanya saya yang tahu, bersaksikan Tuhan,” tutur Bismar sambil melemparkan senyum tulusnya.
Perhatian yang tinggi terhadap pemerintahan negeri ini juga membuat Bismar kerap dinilai negatif oleh pejabat dan masyarakat. Padahal, niat Bismar baik, yakni ingin memberikan teguran pada pejabat-pejabat yang tengah berkuasa atas negeri ini. Bismar kerap mengirimkan surat yang disertakan buku karangannya, namun tak satupun yang membalas.
Hanya saat K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur menjadi presiden, Bismar mengirimkan surat yang berisi pemikirannya terhadap pemerintah. Surat itu pun berbalas. Bismar sesungguhnya bukan berharap surat-surat itu berbalas. Bismar hanya menginginkan surat itu dibaca kemudiaan direalisasikan untuk masyarakat.
Pendekar Hukum yang Sayang Keluarga
Karir Bismar di bidang hukum dimulai pertama kalinya sebagai seorang jaksa di Kejaksaan Negeri (kejari) Palembang tahun 1957. Tampaknya, tangan Tuhan selalu membelai Bismar. Di tahun yang sama, Bismar yang berusia 29 tahun meminang pujaan hatinya, Yunainen F. Damanik yang akrab disapa Anen. Pertemuan Bismar dan Anen terjadi di Tebing Tinggi, Medan. Saat itu, Anen yang lulusan Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) menjadi guru di sana. Pernikahan mereka yang kini berusia 52 tahun membuahkan 7 orang anak dan 14 cucu.
Secara jujur Bismar mengatakan bahwa menjadi seorang jaksa bertentangan dengan jiwanya. Sebab, di kejaksaan itu ada perintah dari atas ke bawah. Jaksa harus menurut dan menjalani perintah atasanya. Tidak sedikitpun ia boleh mengeluarkan gagasannya. Tekanan batin itu lah yang membuat Bismar mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari kejaksaan dan beralih menjadi hakim.
Saat karir Bismar semakin gemilang, tawaran menimba ilmu ke negeri orangpun singgah. Menurutnya, menolak tawaran berkuliah di negeri orang sama saja menolak karunia Tuhan. Maka, tahun 1973, berangkatlah ia ke University of Nevada di Reno, Amerika Serikat. Tiga bulan di sana, ia melanjutkan kuliah ke Universitas of Alabama di Toos Calosa dan University of Texas di Dallas, Amerika Serikat. Tahun 1990, ia kembali menimba ilmu menuju Belanda ke Ryks Universiteit, Leiden.
Lagi-lagi ia diberi kemudahan untuk menuntut ilmu ke beberapa universitas luar negeri. Saat itu, Delyuzar bekerja dengan posisi cukup baik di perusahaan minyak, Caltex. Perusahaan itu memiliki program Asia Foundation yang memberikan beasiswa bagi putera-puteri bangsa. Delyuzar adalah sahabat Bismar semasa kuliah.
Karir pertama Bismar sebagai seorang Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Pangkal Pinang kelas 3. Beberapa teman Bismar, mengusulkan Bismar menjadi ketua pengadilan di sana. Namun, ketua pengadilan yang lama belum mau pensiun dan minta perpanjangan setahun lagi. Teman-teman yang mencalonkan Bismarpun berniat melakukan demonstrasi, namun Bismar langsung menolak.
Bukan jabatan yang dia inginkan. Jabatan itu tak ada artinya bagi Bismar. Itu yang selalu ia tekankan dalam menjalani hidup. Rezeki menjadi ketua pengadilan sepertinya memang untuk Bismar. Ketua Pengadilan Pontianak kelas 1 meninggal dunia. Bismar diminta untuk menggantikan. “Saya tidak pernah mengemis jabatan. Bukan saya yang menginginkan ini. Tapi, masyarakat yang meminta,” ujar Bismar penuh keyakinan.
Menjadi seorang hakim agung pun bukan semata keinginan Bismar. Bahkan, ia sama sekali tidak tahu jika dicalonkan sebagai hakim agung di Mahkamah Agung RI. Dua kali Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mencalonkan Bismar, namun dua kali pula ditolak. Baginya, PPP bukanlah milik negara.
Lain halnya, saat Partai Golongan Karya (Golkar) mencalonkan dirinya lagi sebagai hakim agung, dia merasa tak bisa menolak amanah. Alasannya sederhana, Golkar milik negara ini dan dia diberi amanah. Tuhan akan murka jika seorang manusia menolak amanah. Itulah yang selalu diyakininya dan menjadi pula motivasi bagi Bismar untuk menerima jabatan tersebut dan bertanggung jawab dengan jabatan tersebut.
Sebenarnya, orang tua Bismarlah yang menginginkan putra ketujuhnya ini menjadi seorang hakim. Bismar tak pernah berambisi apalagi bercita-cita menempati jabatan sebagai hakim agung. Sebab, Bismar adalah orang yang tahu diri. Dia anak desa dengan pendidikan yang tidak lazim. Tapi, jika Tuhan berkendak, maka jadilah. Tuhan memang menginginkan seorang Bismar Siregar menjadi seorang pendekar hukum.
“Saya selalu sukuri semua yang saya alami karena ini adalah takdir Tuhan,” tutur Bismar yang disapa Opung oleh cucu-cucunya. Kebersamaan bersama istri, anak-anak, dan cucu-cucu adalah hal yang paling Bismar senangi. Melihat mereka tumbuh dan berkembang membuat Bismar merasa hidupnya sangatlah indah. Bismar tidak ingin cucu-cucunya merasakan apa yang ia rasakan dulu, tak pernah merasakan belaian kasih sayang opung yang pergi saat Bismar masih sangat kecil.
“Opunggggg.....tadi aku dinakalin temanku,” tutur Yasmin, salah satu cucu kembar Bismar yang baru saja kembali dari sekolah. Bismar pun langsung memberikan pelukan serta ciuman hangat tanda rasa sayang yang begitu besar terhadap cucunya itu. Kemudian, Bismar pun memberikan nasihat pada sang cucu agar sabar menghadapi ulah temannya yang nakal. Sang cucu langsung tersenyum dan pamit untuk berganti pakaian.
Bismar adalah seorang suami, ayah, dan opung yang begitu dicintai. Senyum yang selalu ditebarkan memberi semangat bagi istri, anak-anak, dan cucu-cucunya. Bila ia tidak suka terhadap sesuatu, wajahnya tidak pernah menunjukkan raut tidak suka. Dia hanya tersenyum. Ketika dia marah karena suatu hal, ia memilih diam dan enggan memperlebar. Ia sama sekali tidak mau ada ketegangannya. Jadi, jika ia diam saja itu menandakan ada yang mengganjal di hatinya.
Sikap penyayang Bismar juga dirasakan betul oleh istri, anak-anak, dan cucu-cucu Bismar. Maka, mereka tak segan untuk bercerita apapun pada Bismar. Sikap ikhlas yang tertanam kuat di diri Bismar, tak lupa ia tanamkan juga pada anak-anak. Maka, meski Bismar kerap dipindahtugaskan tak membuat Bismar dan keluarganya mengeluh. Istri dan anak-anak kerap ikut kemanapun Bismar berdinas, hanya saat di Ambon istri dan anak-anaknya tidak ikut.
Jika ada waktu senggang, Bismar dan keluarga besarnya mencari tempat-tempat yang menyenangkan untuk sekedar melepas kepenatan. Makan malam bersama juga selalu Bismar dan istri biasakan untuk Anak-anak dan cucu-cucu yang hingga kini masih tinggal bersamanya. Itu lah Cara Bismar dan Anen untuk membangun kebersamaan antara anak-anak dan cucu-cucunya.
Ada kebiasaan unik yang hingga kini tak pernah berubah dari seorang Bismar. Ia kerap membawa minuman dan makanan dari rumah. Saat menjadi hakim agung pun, dia kerap meminta Anen menyiapkan bekal. Ia bukan tipe orang yang suka makan di restoran atau makan di luar rumah. Bagi Bismar, masakan istri tercinta adalah makanan paling enak sedunia. Anen menyebut gulai pakis sebagai makanan favorit suaminya. Setiap ada kerabat di Medan yang akan ke Jakarta, Anen tak lupa memesan pakis untuk memberikan suguhan istimewa pada Bismar.
Bismar bukanlah sosok yang mendominasi apalagi otoriter. Ia selalu menjadi pendengar yang baik dan senang memberi nasihat. Berbagai masalah mulai dari hal kecil hingga hal besar selalu ia diskusikan dengan istrinya. “Kata Bapak, perempuan itu mengambil keputusan dengan emosional, sedangkan bapak-bapak mengambil keputusan dengan logika. Jadi, supaya seimbang,” ujar Anen dengan wajah bangga pada suaminya.
Lukisan Perlambang CintaSetelah 11 tahun 6 bulan mengabdi sebagai hakim agung, tahun 1995 pensiunlah Bismar. Praktis kegiatannya setelah pensiun hanya mengajar saja. Ia menjadi Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dekan Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Jakarta, dan Dosen Fakultas Hukum Jurusan Hukum Islam Universitas Pancasila Jakarta.
Kini memasuki usia senja, Bismar hanya mengajar di satu tempat saja. Dia menyadari bahwa semakin berumur, energi yang dimilikinya juga tak seperti saat muda. Apalagi, padat dan macetnya ibukota, membuat Bismar sering mengalami kejenuhan dan stres. Sekarang, dia hanya mengajar di Universitas Pancasila Jakarta.
Bila ada waktu kosong, Bismar memanfaatkan waktu untuk menulis. Hingga saat ini, ada sekitar 30 buah buku yang dikarang oleh Bismar. Beberapa diantaranya beredar dipasaran. Menulis adalah hobi Bismar sejak dahulu. Ketika ia menjabat sebagai hakim agung, ia selalu meminta sekretaris pribadinya untuk mengetikan naskah yang ia buat. Namun, setelah pensiun dan tak memiliki sekretaris pribadi lagi, dia harus melakukannya sendiri.
Lambat laun ia mulai bersahabat dengan teknologi. Ia mulai belajar menggunakan komputer karena tahu teknologi itu akan sangat mempermudah dirinya dalam hobi menulis. Di tengah malam, Bismar selalu bangun untuk solat tahajud. Biasanya, setelah tahajud ide demi ide mengalir di kepalanya dan jemari Bismarpun mulai bermain di atas tuts komputer.
Buku-buku karangan Bismar adalah kumpulan tulisan Bismar kemudian dibukukan. Tak penting laku tidaknya buku yang dia keluarkan. Tapi, bagaimana ilmu dan pengalaman yang Bismar miliki bisa dibagi kepada masyarakat. Pernah sekali waktu, buku yang tidak habis di toko buku berjumlah kurang lebih seribu buku. Akhirnya, Bismar menyerahkan buku-buku tersebut ke toko Wali Songo di daerah Kwitang dan menyuruh pengelola toko membagikan untuk pelanggannya secara cuma-cuma.
Selain menulis, Bismar punya hobi lain. Iya senang menuangkan perasaannya pada media kanvas dan cat minyak. Ya... Dia senang melukis. Lukisannya bergaya ekspresionis. Ia tak belajar dimana-mana untuk bisa melukis. Hanya berbekal kemauan dan coba-coba, jadilah sebuah lukisan indah dimana perasaan Bismar tertuang disana. Ia membuat pameran pada tahun 2008 silam, sekaligus merayakan hari ulang tahunnya yang ke-80 tahun.
Ada sebuah lukisan favorit Bismar yang merupakan perlambang cinta ia dan istrinya. Lukisan itu menggambarkan dua buah pohon yang daunnya sedang meranggas. Latar belakang pohon itu adalah suasana dikala senja. Dua pohon dengan latar belakang senja menggambarkan Bismar dan istrinya yang kini telah memasuki usia senja. Bismar pernah mengatakan pada istrinya, bahwa suatu saat pohon itu akan mati satu. “Entah saya atau dia. Kalau saya boleh meminta pada Tuhan, biar saya dulu karena saya biasa diurusi dia,”ujar Bismar.
Kegiatan Bismar yang lain adalah memberi dakwah tentang agama dan memberikan nasihat pernikahan. “Hidup itu sangat mudah. Manusianya sendiri yang sering membuat hidup menjadi susah,” tutur Bismar. Begitulah sosok Bismar Siregar. Hakim agung yang begitu dikenal dengan ketegasan sikapnya. Selalu menebar senyum dan keramahan.